Memories of Central Sulawesi, Indonesia




Palu, Bukan Tinggal Kenangan
Menjelang malam, 10 Oktober 2018






Masih teringat jelas di dalam benak kepala kita, hari Jumat, 28 September 2018 kala senja hampir turun menyapa, bencana Gempa dan Tsunami datang menerjang dan dengan sekejap merenggut lenyap segalanya. Saudara-saudara kita, di Palu, Donggala, dan sekitarnya tidak pernah menyangka musibah ini menimpa mereka, dan sampai sekarang pun kita masih sangat merasakan kehilangan dimana masih banyak teman-teman, saudara, dan kerabat yang entah dimana keberadaannya. Mata batin mereka menjadi saksi tempat tinggal mereka menjadi rata bersamaan dengan tanah-tanah yang terangkat.


Saya sendiri pernah dua kali mengunjungi Palu, (baca postingan tentang Palu) ingatan saya tidak pernah terlepas dari Jembatan Kuning Ponulele, Anjungan Nusantara, Pantai Talise, Pusat Air Donggala, Masjid Terapung Teluk Palu, dan Palu Grand Mall. Rasanya seperti mimpi yang nyata melihat apa yang saya lihat saat ini.



Bukan sebuah kebetulan juga, kakak saya yang tinggal di Silae Palu mengalami gempa dahsyat dan sempat mengungsi di gunung yang tidak jauh dari belakang rumah. Gempa dengan intensitas sering dari minggu sebelumnya, tiba-tiba semakin menjadi jumat sore, yang ada dipikiran mereka adalah lari sekencang-kencangnya menjauh dari pinggir pantai. Kakak saya keluar rumah dengan menggendong anak bayinya berumur 7 bulan, bersama suami dan keluarga disana, menuju ke tempat yang lebih tinggi tanpa membawa apapun, selain nyawa dan apa yang berada dibadan mereka. Malam itu, mereka tidur beralaskan pinjaman tenda dari warga gunung yang baik, dan begitu tau ada salah satu provider yang satu-satunya aktif, kakak saya langsung mengabari kami keluarga di Jakarta bahwa malam ini mereka aman selamat dan kalo dibilang boleh jujur kondisi disana tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Kami sedikit tenang, walaupun hati kami menangis. Lagi-lagi seperti mimpi… Sungguh kelam!



Besok harinya di sabtu pagi, walaupun dengan trauma mendalam dan gempa yang masih terus berlangsung sesekali, mereka turun gunung, meninggalkan pesisir pantai, dan baru menyadari bahwa tsunami sore kemarin benar-benar meratakan jalanan, meretakkan rumah hingga saling merobohkan, kondisi jalanan luluh lantak, betapa tak tergambarkan betapa mencekamnya hari itu.

Singkat cerita, mereka berhasil mengevakuasi diri hingga ke Bandara siang harinya. Kondisi semakin tidak kondusif dikarenakan penerbangan sejak hari itu ditutup sementara, dikarenakan landasan penerbangan retak sepanjang 500 meter. Tapi kami percaya pertolongan Tuhan dan petugas yang baik tidak berhenti begitu saja, sehingga pada sore harinya datang beberapa bantuan dari pesawat Hercules, Tim SAR yang membawa pertolongan logistik, ternyata menerima evakuasi penumpang yang membawa bayi atau anak kecil, lansia, dan orang-orang yang terluka. Ajaibnya, keluarga kami lengkap berhasil sampai di Jakarta setelah transit di Makassar. Mata kami berkaca-kaca, mengharu biru melihat mereka semua mengalami kejadian sebesar ini ketika turun dari Bus Kecil di Bandara Halim, sabtu malam, 29 September 2018.


***

Malam ini saya melihat sebuah kabar berita, tanggal 11 Oktober 2018 adalah pengharapan yang terhenti seketika, dimana tim SAR menghentikan evakuasi para korban dengan alasan H+14 korban yang ditemukan dalam keadaan tidak utuh lagi. Seperti yang kalian tau dari berita-berita yang beredar, masih ada ribuan korban yang tertimbun, terutama di daerah Desa Petobo dan Perumahan Balaroa. Sampai detik inipun, saya dan para anggota keluarga disana masih percaya dengan sebuah keajaiban dan mujizat Tuhan terjadi di tengah keputus-asaan kita semua. 

Tim SAR berhenti mencari korban, tapi tetap menerima dan melakukan evakuasi apabila terdapat laporan warga mengenai penemuan korban. (Sumber: Liputan6.com)



Kita tidak akan pernah berhenti mengirimkan doa terbaik untuk 2,045 korban jiwa yang sudah ditemukan, dan hati kami masih berharap kepada jiwa saudara-saudara kita yang masih belum terdengar kabarnya sampai sekarang. Dukungan kita juga berikan kepada saudara-saudara kita yang masih harus tetap melanjutkan hidupnya. Kejadian ini terlalu sedih dikenang, keindahan Sulteng terlalu indah untuk dilupakan! Ya, saya tidak mungkin akan pernah lupa, Kota Palu dan sekitarnya, sebuah kota Khatulistiwa yang dekat dengan pemandangan alam yang dikelilingi oleh lautan, pegunungan, sungai, lembah sekaligus teluk didalamnya.

Malam ini, meski bangunan yang kokoh telah terombang-ambing mengikuti aliran tanah dan ombak di lautan. Bukan halangan untuk membangun kembali kehidupan dari awal. Kita bersama, pasti bisa bangkit dan tidak akan pernah menyerah! Stay Strong Palu, Donggala, dan Sulteng! 



Comments

Popular Posts